Sabtu, 02 Oktober 2010

Mencegah Kepribadian Anti Sosial Anak Melalui Permainan Tradisional

ini adalah artikel Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM), atau sekarang yang disebut PKM-GT (Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis). Thx to rekan satu kelompok saya, satu angkatan; Dwi Wahyuningsih.


Anak – anak adalah penerus kepemimpinan bangsa di masa yang akan datang, baik dan buruknya masa depan bangsa ini bergantung pada baik dan buruknya pendidikan yang diterima anak – anak bangsa ini. Pendidikan pertama dan utama yang diterima anak adalah dari keluarga, terutama ibu. Namun pada kenyataannya, sekarang ini banyak sekali wanita yang mempunyai anak bekerja di luar rumah. Pada tahun 1980 lebih dari sepertiga wanita Amerika dengan anak dibawah tiga tahun bekerja, dan setiap tahun jumlah ibu bekerja semakin meningkat. Hal serupa banyak dijumpai di negara – negara Eropa Barat, Eropa Timur, atau bahkan Asia (Cina). (lihat Mussen, Conger, Kagan, & Huston;1984,h.115) dan (Atkinson & Atkinson;1983,h.110)

Teori Piaget menyajikan suatu pandangan luas tentang pengembangan kognitif. Ini merupakan teori paling lengkap sampai sekarang dan telah banyak mempengaruhi penelitian tentang cara anak – anak memikirkan dunia dan memecahkan masalah (Atkinson&Atkinson,1983.h.102). Selama abad ini para psikolog menekankan hubungan anak – anak dengan orang yang mengasuh mereka (ibu), dan menganggap bahwa interaksi ini merupakan dasar utama perkembangan emosi dan kognitif (Bowlby,1969; freud,1964; Watson,1928 dalam Mussen, Conger, Kagan, & Huston,1984.h.104), yang pada tahapan selanjutnya mulai dikembangkan mengenai keterikatan dengan ayah, saudara kandung dan juga pengasuh lain.

Hasil utama interaksi anak dengan ibunya adalah keterikatan emosional terhadap ibunya. Para ahli teori ini menyatakan bahwa semua bayi yang normal membentuk keterikatan, dan keterikatan yang kuat memberikan dasar perkembangan emosi dan sosial yang sehat dalam masa kanak – kanak selanjutnya. Anak – anak dengan rasa keakraban yang kuat, diharapkan menjadi makhluk sosial dan memiliki rasa ingin tahu pada lingkungannya, ingin mempelajari dan mengembangkan kemampuannya dalam mengatasi tekanan batin. Gangguan yang serius dalam proses keterikatan ini diduga akan menimbulkan persoalan – persoalan dalam perkembangan sosial anak selanjutnya.(Mussen,Conger,Kagan, & Huston, 1984.h.108).


B.    Latar Belakang

Menurut (Bowlby,1969; Freud,1964; Watson,1928) Selama abad ini para psikolog menekankan pada hubungan anak – anak dengan orang yang mengasuh mereka, dan menganggap bahwa interaksi ini merupakan dasar utama perkembangan emosi dan kognitif (Lihat Mussen, Canger, Kagan & Huston, 1984,h.104).  Filsafat tentang perkembangan dan pertumbuhan, disamping memperhatikan individualitas anak juga harus memperhatikan masyarakat anak tempat ia diasuh dan didewasakan. Lingkungan sosial inilah yang memberikan fasilitas dan arena bermain pada anak untuk pelaksanaan realisasi diri. Seorang anak tidak mungkin terpisah secara total dari lingkungan sosialnya, serta pengaruh kultural orang dewasa, jika hal itu terjadi, maka anak tersebut tidak mungkin dapat berkembang menjadi anak normal. Tanpa bantuan orang dewasa anak akan mati. Tanpa  bantuan manusia lain dan lingkungan social, anak tidak akan mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Anak tidak mungkin bertahan hidup tanpa masyarakat, dan tanpa lingkungan sosial tertentu. (Kartono,1995.h.42)

  Anak akan menemukan diri sendiri dalam relasinya dengan ibu, ayah, kakak – kakak, keluarga dekat dan lingkungan tetangga. Anak akan menghayati rasa malu, tersudut, dan kehilangan martabat diri, berkembang dan bertingkah laku sesuai dengan martabat manusiawi yang berlaku di dalam suatu lingkungan sosial pula. Meskipun hubungan erat dengan orang dewasa yang hangat dan sangat responsive penting bagi perkembangan emosi anak, interaksi dengan anak – anak lainpun memegang peranan penting. Anak – anak belajar sebagian besar kemampuan sosial mereka dari interaksi dengan sesamanya. Mereka belajar memberi dan meminta, membagi pengalaman bersama, saling menyenangi tindakan masing – masing, serta mengerti perasaan orang lain, mempelajari kemampuan baru, dan mempelajari akibat dari suatu perbuatan tertentu. Teman sebaya merupakan model untuk ditiru yang juga merupakan pemberi penghargaan atau hukuman.

Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari berbagai ketrampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan diplomatis dengan orang lain, baik teman maupun orang yang tidak dikenal. Anak – anak diharapkan agar semakin lama semakin dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial dan dapat memenuhi harapan (tuntutan) sosial. (Hurlock,1978.h.287).

Sekarang ini, banyak kasus yang terjadi di masyarakat yang berkenaan dengan pelanggaran peraturan dan ketentuan norma yang berlaku, hal itu mengidentifikasikan adanya perilaku ataupun kepribadian anti-sosial. Dan tidak menutup kemungkinan perilaku tersebut  muncul berdasarkan pengalaman masa lalu individu yang bersangkutan pada periode perkembangan sebelumnya yaitu periode anak – anak.   Kasus – kasus yang terjadi di masayarakat berkenaan dengan hal tersebut antara lain: Penganiaya Anak Tertangkap (Suara Merdeka,11 November 2006,h.22). Sebaiknya Siswa Dilarang Bawa Ponsel di Sekolah (Suara Merdeka, 16 Desember 2006,h.24). Menabrak Bus, Dua Pelajar Tewas (Suara Merdeka, 28 Desember 2006,h. 25). Siswa SMK Edarkan Pil Lexotan (Suara Merdeka,30 Desember 2006,h.28). Motor Teman Sendiri Dicuri (Suara Merdeka, 13 Januari 2007,h.23). Kasus - kasus tersebut mungkin memang memiliki latar belakang yang bebeda satu sama lain. Namun demikian secara garis besar, hal itu menunjukkan adanya pelanggaran – pelanggaran terhadap ketentuan umum yang berlaku di masyarakat, yang merupakan salah satu indikasi adanya kepribadian anti-sosial yang tercermin melalui perilaku anti-sosial yang muncul.

Dengan melihat berbagai kasus yang dilakukan oleh para remaja, tentunya kita tidak akan tinggal diam begitu saja, kita harus mengupayakan sesuatu agar hal semacam itu tidak terjadi lagi di masa mendatang atau paling tidak dapat terkurangi. Perilaku sosial, tidak sosial, ataupun perilaku anti-sosial pada masa kanak – kanak, akan mempengaruhi kepribadian setelah anak menjadi dewasa. Pengalaman yang menyenangkan dapat mendorong anak menjadi orang yang sosial, namun pengalaman yang tidak menyenangkan akan mendorong anak menjadi tidak sosial atau bahkan anti-sosial. (Hurlock,1978.256). Maka dari itu Pencegahan akan efektif bila dilakukan secara dini, dan dalam hal ini tertunya dimulai sejak awal terbentuknya kepribadian seseorang yaitu sejak anak – anak. 

 Bermain adalah aktifitas yang paling sering dilakukan oleh anak – anak terutama bagi mereka yang belum sekolah, bermain bagi anak – anak yang sudah bersekolah biasanya dilakukan disela – sela aktifitas akademiknya, dan bahkan orang dewasapun masih senang bermain. Seiring dengan perkembangan dunia yang semakin modern, dunia anak pun ikut merasakan imbasnya, kini mereka dapat menikmati permainan dengan peralatan yang canggih. Mereka dapat menikmati semua itu setiap saat, setiap waktu, terlebih mereka dapat melakukannya sendiri dirumah tanpa harus mencari teman untuk bermain. Mereka pun dapat mengatur permainan yang akan mereka lakukan (seperti dalam video games). Kita (orang tua, keluarga ) memang merasa lebih mudah mengawasi / mengontrol kegiatan sang anak, tapi tanpa kita sadari hal tersebut menyita atau bahkan menghilangkan waktu anak – anak untuk berinteraksi dengan teman sebaya mereka, dan efeknya anak tidak lagi berinteraksi dengan lingkungan mereka, sehingga tidak mengetahui keadaan lingkungan mereka, norma yang berlaku dalam masyarakat mereka, dan tuntutan masyarakat terhadap anggotanya. Jika hal itu terjadi, maka tidak menutup kemungkinan anak akan menjadi pribadi yang anti-sosial yang senang melakukan pelanggaran terhadap peraturan atau ketentuan sosial yang berlaku. Bukan karena mereka tidak tahu akan hal itu, tapi mungkin mereka memang sengaja melanggar peraturan atau ketentuan sosial yang dirasa akan mengekang mereka.

Sejak peralihan abad sekarang, telah terjadi perubahan sikap yang radikal terhadap bermain sebagai hasil studi ilmiah mengenai apa saja yang dapat disumbangkan bermain bagi perkembangan anak. Alih – alih menganggap bermain sebagai pemborosan waktu, para ilmuan telah menunjukkan bahwa bermain merupakan pengalaman yang berharga. Mereka menekankan bahwa tidak ada bidang lain yang lebih benar kecuali menjadi seseorang yang sosial. Karena belajar menjadi sosial bergantung pada kesempatan berhubungan dengan anggota kelompok teman sebaya, dan karena hal ini terutama terjadi dalam kegiatan bermain, maka bermain sekarang dianggap sbagai alat yang penting bagi sosialisasi. (Hurlock, 1978.h.320).

Masyarakat dunia gencar menyerukan gerakan “Back to Nature”  untuk mengurangi pengaruh negatif dari peradaban dunia yang semakin modern dengan segala produk yang dihasilkannya. Dan “permainan tradisional”  adalah jawaban untuk mencegah bertambahnya generasi muda bangsa ini yang melakukan pelanggaran – pelanggaran terhadap norma yang berlaku, hanya mementingkan diri sendiri, tidak mau mengerti, memahami dan peduli terhadap lingkungan dan sesamanya (Anti-Sosial). Melalui permainan, kita dapat menanamkan nilai – nilai sosial pada anak – anak lebih dini. Belajar sambil bermain tentunya tidak akan membuat anak – anak merasa bosan. Dengan bermain bersama teman – teman sebaya di lingkungan mereka, anak – anak belajar bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan orang lain dan mempelajari situasi dan kondisi lingkungan mereka. Sehingga mereka tahu apa yang menjadi tuntutan dari lingkungan atas dirinya.
A.    Landasan Teori

1.    Kepribadian Anti-Sosial
a.    Pengertian Kepribadian
Dalam bahasa Indonesia “personality” diartikan sebagai kepribadian, yang berasal dari kata Latin “persona” yang bearti topeng. Sedangkan dalam bahasa Romawi “persona” adalah penampilan seseorang terhadap orang lain. Dewasa ini kepribadian lebih sering diartikan sebagai “siapakah seseorang itu, bagaimana ia berpikir dan merasakan sesuatu, serta keseluruhan keadaan psikologis yang terungkap melalui bentuk tingkah laku”. Woodworth dan Marquis mendefinisikan kepribadian sebagai “kualitas tingkah laku individu secara keseluruhan”. Sedangkan Allport menyebut kepribadian sebagai “ Organisasi dinamik dalam diri individu yang tersusun dari sistem psikofisis yang menentukan penyesuaian yang unik terhadap lingkungan”. (Somantri,2006.h.51).

Dari definisi yang dikemukakan oleh Allport di atas, tersirat beberapa hal penting yaitu
1)    Organisasi    : mengisyaratkan bahwa kepribadian bukan sekedar kumpulan sifat – sifat (trait) tetapi merupakan kumpulan sifat – sifat yang mempunyai hubungan timbal balik.
2)    Dinamik    : Pada hakekatnya keribadian selalu berubah dan terungkap dalam bentuk kualitas tingklah laku.
3)    Sistem Psikofisis    : dapat diartikan sebagai kebiasaan, sikap, keyakinan, keadaan emosional, perasaan, motif yang bersifat psikologis tetapi mempunyai dasar neural dan grandular (syaraf dan kelenjar) maupun keadaan fisik secara keseluruhan. (Somantri,2006.h.51 - 52)

Kepribadian terdiri dari dua komponen, yaitu inti yang disebut sebagai konsep diri, dan komponen penunjang yaitu trait (sifat). Konsep diri dibedakan menjadi dua yakni konsep diri yang riil (siapa dia yang sesungguhnya) dan konsep diri ideal (gambaran diri yang diinginkan seseorang). Konsep diri terdiri dari aspek fisik dan psikologis. Aspek fisik terdiri dari penampilan dan keselarasannya terhadap jenis kelamin, hubungan antara tubuhnya dengan orang lain. Sedangkan aspek psikis mengenai kemampuan dan ketidakmampuan, dan juga arti diri seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.

Kepribadian seorang anak berbeda satu dengan yang lainnya. Riset menunjukkan bahwa perbedaan yang dapat diandalkan dapat dilihat pada bayi yang berawal pada usia tiga bulan dalam karakteristik tertentu, seperti: tingkat aktivitas, rentang atensi, adaptabilitas pada perubahan lingkungan dan didukung oleh mood pada umumnya. (Hurlock,1978.h.203) Perkembangan pola kepribadian dipengaruhi oleh tiga hal yaitu pembawaan sejak lahir, pengalaman masa dini dalam keluarga, dan pengalaman dalam kehidupan masa selanjutnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Swedia, dihasilkan sebuah kesimpulan bahwa faktor genetik (pembawaan) memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian. Penting ditekankan bahwa bukan berarti bahwa 50 persen sifat di dalam diri individu tertentu adalah karena gennya. Heretabilitas suatu trait berarti suatu perbedaan diantara individu di dalam suatu populasi, bukan proporsi suatu trait di dalam diri seorang individu.  Hal itu menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga turut berpengaruh pada pembentukan kepribadian seseorang. (Floderus, Myred, Peterson & Rasmuson,1980 dalam Atkinson & Atkinson,1987.h. 204 - 205).

Carl mengingatkan kita bahwa walaupun faktor genetik memberikan pengaruh yang besar pada pembentukan kepribadian seseorang (50%) tetapi masih ada 50 persen lagi variabilitas untuk dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan interaksi faktor genetik dengan lingkungan. (Atkinson & Atkinson,1987.h.209)

b.    Pengertian Kepribadian Anti-Sosial

Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya kita perlu mengetahui beberapa istilah berikut (Hurlock,1978.h.251)
o    Orang Nonsosial adalah orang yang perilakunya tidak mencerminkan keberhasilan kedalam ketiga proses sosialisasi yang menjadi ciri khas orang yang sosial, yaitu (belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, memainkan peran sosial yang dapat diterima, dan perkembangan sikap sosial).
o    Orang yang tidak sosial (Unsoscial) yaitu orang non-sosial yang tidak mengetahui apa yang dituntut oleh kelompok sosial, sehingga mereka tidak diterima oleh kelompok dan terpaksa menggunakan sebagian besar waktunya untuk beraktivitas seorang diri.
o    Orang yang anti-sosial adalah orang non-sosial yang mengetahui hal – hal yang dituntut oleh kelompok, tetapi karena sikap permusuhan terhadap orang lain, maka mereka melawan norma kelompok. Akibatnya mereka diabaikan dan tidak diterima / ditolak oleh kelompok.

Aspek yang paling jelek dari perilaku anti-sosial terjadi pada masa 6 – 12 bulan menjelang pematangan seksual (masa puber). Namun setelah itu biasanya mengalami penurunan secara berangsur – angsur, dan tingkah laku sosial menunjukkan peingkatan kembali seiring dorongan hasrat yang kuat untuk dapat diterima secara sosial di kalangan teman sebaya dari kedua jenis kelamin. Tingkah laku anti-sosial disebabkan oleh perubahan fisik dan kelenjar yang juga berpengaruh terhadap tingkah laku anak yang terjadi saat anak memasuki masa puber. (Dunbar,1958 dalam Hurlock,1978.h.273)

Perilaku anti-sosial pada anak – anak mencapai derajat yang sangat besar, mungkin dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Biasanya orang dewasa menganggap bahwa saatnya telah tiba bagi anak untuk ”membuang semua hal yang kekanak – kanakan” dan memikul tanggung jawab kedewasaan. Perubahan mendadak semacam itu kemungkinan besar dapat mengakibatkan timbulnya sikap dan perilaku anti-sosial. Perilaku anti-sosial pada anak juga turut dipengaruhi oleh adanya perubahan konsep diri, serta adanya perubahan sikap dan perilaku. (Hurlock,1978.h.273 - 274).

Dengan demikian kepribadian anti-sosial dapat diartikan sebagai suatu organisasi dinamik atas sifat – sifat yang ada dalam diri individu, yang tertuang dalam bentuk perilaku yang menentang norma sosial, meskipun individu yang bersangkutan telah mengetahui apa yang menjadi tuntutan sosial atas dirinya.

c.    Ciri – ciri Individu yang Memiliki Kepribadian Anti-Sosial

Ciri individu yang memiliki kepribadian anti-sosial dapat dilihat dari berbagai perilaku yang muncul yang mengindikasikan adanya kepribadian anti-sosial, adapun bentuk perilaku anti-sosial pada anak – anak antara lain (Hurlock,1978.h.263 & 274)
1)    Negativisme. Perlawanan terhadap tekanan dari pihak lain untuk berperilaku tertentu
2)    Agresi. Tindakan permusuhan yang nyata atau ancaman permusuhan, dan biasanya tidak ditimbulkan oleh orang lain, dan dilakukan pada anak yang lebih kecil.
3)    Pertengkaran. Perselisihan pendapat yang mengandung kemarahan yang umumnya dimulai apabila seseorang mengadakan penyerangan yang tidak beralasan
4)    Mengejek dan menggertak. Mengadakan serangan baik yang bersifat lisan (mengejek) maupun fisik (menggertak)
5)    Perilaku yang sok kuasa. Kecenderungan untuk mendominasi orang lain atau menjadi “majikan”
6)    Egosentrisme. Cenderung berfikir dan berbicara tentang diri mereka sendiri
7)    Prasangka. Biasanya dengan membedakan orang – orang yang ia kenal
8)    Antagonisme jenis kelamin. Biasanya dengan jalan menghindari bergaul dengan anak perempuan dan tidak melakukan aktivitas yang dianggap sebagai aktivitas anak perempuan
9)    Antagonistic terhadap setiap orang. Perasaannya mudah tersinggung dengan pandangan mencemooh
10)    Merasa bosan dengan aktivitas sosial, misalnya enggan mengikuti pertemuan keluarga dan mengikuti perayaan besar
11)    Sebagian besar waktunya digunakan untuk menyendiri
12)    Dengan sengaja menolak berkomunikasi dengan orang lain. Apabila ditanya, biasanya mereka menutup pertanyaan dengan jawaban “enggak ingat” dan atau “enggak tahu”
13)    Mengadakan pelanggaran – pelanggaran terhadap aturan atau norma sosial yang berlaku
2.    Bermain

a.    Pengertian Bermain
(Brooks & Elliot,1971) mendefinisikan bermain sebagai setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara suka rela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban. Sedangkan Piaget menjelaskan bahwa bermain “terdiri atas tanggapan yang diulang, sekedar untuk kesenangan fungsional”. Menurut Bettelheim kegiatan bermain merupakan kegiatan yang “tidak memiliki peraturan lain kecuali yang ditetapkan sendiri oleh pemain dan tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realitas luar”  (Hurlock,1978.h.). Permainan menurut Kartono, (1995.h.116) merupakan kesibukan yang dipilih sendiri oleh tujuan, namun pada hakekatnya kegiatan tersebut disertai intensitas kesadaran, minat penuh dan usaha yang keras. Sedangkan dalam (http//:id.wikipedia.org/wiki/permainan) disebutkan bahwa permainan merupakan sebuah aktivitas rekreasi dengan tujuan bersenang – senang, mengisi waktu luang, atau berolahraga ringan. Permainan biasanya dilakukan sendiri atau bersama – sama.

Bermain merupakan bagian yang sedemikian diterimanya dalam kehidupan anak sekarang, sehingga hanya sedikit orang yang ragu – ragu mempertimbangkan arti pentingnya dalam perkembangan anak. Bermain bagi anak terdiri atas empat mode dasar yang membuat kita mengetahui tentang dunia yakni: meniru, eksplorasi, menguji dan membangun. (Sutton-Smith, dalam Hurlock,1978.h.322). Bermain sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak, namun mungkin pengaruh tersebut berbeda sesuai dengan tingkat perkembangannya. Pada usia dini, bermain mungkin memberikan pengaruh terbesar dengan membantu anak mempelajari ketrampilan sosial. Terdapat bukti bahwa bemain menimbulkan pengaruh lainya bagi penyesuaian pribadi dan sosial anak yang rasanya tidak dapat dipandang sebelah mata. (Durrell & Weisberg,1973; Neuman,971 dalam Hurlock,1978.h.322).

b.    Karakteristik Bermain
Bermain dibedakan dalam dua kategori yakni bermain aktif (kesenangan timbul dari apa yang dilakukan oleh individu) dan bermain pasif (kesenangan diperoleh dari kegiatan orang lain).

Karakteristik permainan menurut Hurlock (1978,h.322 - 326) adalah
1)    Bermain dipengaruhi oleh tradisi
2)    Bermain mengikuti pola perkembangan yang dapat diramalkan
3)    Ragam kegiatan bermain menurun seiring dengan bertambahnya usia
4)    Bermain menjadi semakin sosial dengan meingkatnya usia
5)    Jumlah teman bermain menurun dengan bertambahnya usia
6)    Bermain semakin lebih sesuai dengan jenis kelamin
7)    Permainan pada masa kanak – kanak berubah dari tidak formal menjadi formal
8)    Bermain secara fisik menjadi kurang aktif dengan bertambahnya usia
9)    Bermain dapat diramalkan dari penyesuaian anak
10)    Terdapat variasi yang jelas dalam permainan anak

c.    Jenis Permainan Masa Kanak – kanak (Hurlock,1978.h.334)
1)    Permainan Bayi yaitu permainan yang menyenangkan bayi sebelum mereka berusia satu tahun, yang dimainkan dengan anggota keluarga atau anak yang lebih besar. Permainan tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi, yang masuk dalam kategori permainan bayi adalah petak umpet, dakon, atau berkejar – kejaran.
2)    Permainan Perorangan yaitu lebih digunakan untuk menguji kecakapan daripada mencari kesenangan. Permainan ini antara lain berjalan di sisi trotoir atau rel kereta api, meloncat tangga, meloncat diatas satu kaki, dan memukul bola.
3)    Permainan Tetangga adalah sejenis permainan kelompok yang terdefinisi, dimana setiap orang dapat bermain. Persamaan ini mungkin diorganisasikan oleh orang tua atau ditemukan oleh anak – anak sendiri. Permainan tradisional dari jenis ini misalnya: petak umpet, bermain polisi dan penjahat.
4)    Permainan Tim. Permainan ini mulai populer di kalangan anak yang berusia 8 – 10 tahun. Permainan ini sangat terorganisasi dan mempunyai peraturan dan bersuasana persaingan yang kuat. Pada mulanya, hanya sedikit anak yang bermain, lambat laun jumlah pemain bertambah dengan meningkatnya kecakapan dan persaingan menjadi lebih kuat. Permainan yang umum dari jenis ini adalah modifikasi dari sepak bola, bola basket kasti dan lari.
5)    Permainan dalam waktu yaitu permainan yang dilakukan di rumah, pada awalnya anak bermain dengan orang tua atau saudara kandung, selanjutnya dengan teman sebaya. Peraturan menjadi lebih keras dan persaingan lebih tajam dengan bertambahnya usia anak. Permainan tradisional dalam kategori ini antara lain: permainan kartu, permainan tebakan, dan teka – teki.

d.    Permainan Tradisional dan Jenisnya
Permainan tradisional adalah permainan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam suatu kebudayaan tertentu, akan diturunkan permainan yang paling memuaskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Seagoe,1971 dalam Hurlock, 1978.h.322). Dalam  (http//:id.wikipedia.org/wiki/permainan) disebutkan: dilingkungan yang masih terlihat keakraban antar anggota masyarakat, banyak permainan yang dilakukan oleh anak – anak di teras rumah atau dihalaman rumah secara beramai – ramai dengan teman – teman mereka. Mereka berkelompok, atau duduk melingkar memainkan salah satu permainan dan tercipta keakraban. Beberapa permainan ini tercipta dimasa yang lama berlalu yang kemudian disebut sebagai permainan tradisional. Sedangkan di sisi lain beberapa permainan yang lebih akhir (dan biasanya menggunakan peralatan yang canggih) disebut sebagai permainan modern.

Pada hakekatnya permainan tradisional dimainkan secara berkelompok. Jenis Permainan tradisional dalam kategori ini, yang ada di Indonesia antara lain: petak umpet, galasin / galah asin / gobak sodor, bentengan, congklak, goncang kaleng, kasti, kuda panjang, gatrik, layangan, lego, main hadang, pam semambu, tam-tambuku dan yoyo  (http//:id.wikipedia.org/wiki/permainan). Namun dalam karya tulis ini, kami lebih mengfokuskan pada beberapa permainan saja seperti: bentengan, galasin, dan tujuh bintang (dari hasil observasi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar