Senin, 04 Oktober 2010

Islam dan Pengetahuan

Keberartian Islam bagi umatnya tidak terbatas pada aspek-aspek credo (iman) dan ritus, tetapi meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Anjuran ber-Islam secara kaffah (comprehensive), sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Q.S Al Baqarah ayat 208:

Artinya:
    “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam yang secara keseluruhannya dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

Ayat diatas mengisyaratkan adanya integrasi wawasan, termasuk dalam berilmu pengetahuan. Pada tataran ini, terdapay hubungan antara kepercayaan dan peribadatan yang benar harus ditopang oleh ilmu pengetahuan, sementara ilmu pengetahuan yang bermanfaat harus berimplikasi pada peningkatan keimanan dan peribadatan

Persoalan yang muncul kemudian, memungkinkan Islam sebagai doktrin agama sebagai disiplin Ilmu? Atau dengan kata lain upaya Islamisasi Ilmu apakah akan upaya tesebut tidak mereduksi eksistensi Islam yang sacral ketaraf sains yang bersifat tentative, relative dan temporer ?
Upaya menjadikan Islam sebagai displin ilmu meripakan suatu keniscayaan sebab sumber-sumber pengetahuan dalam Islam tak terhingga banyaknya. Problem yang mengemuka biasanya bukan terletak materi (onlogis) dan nilainya (aksiologis) melainkan bagaimana materi itu disuguhkan (epitimologis). Karena dalam paradigma islam tidak hanya sebatas empiris, objektif dan rasionalitif, melainkan juga pada paradigma keimanan.

Dalam Islam, ilmu pengetahuan merupakan produk akal budi setelah individu mengetahui dan meahami ayat-ayat Allah, baik kauliyah (Al Qur’an) maupun kauniyah (Sunatullah). Manusia dengan kekuatan akal budi yang diberikan oleh-Nya tidak akan mampu “menciptakan ilmu”. Ia hanya mampu “mengungkap atau menemukan ilmu”, sebab ilmu itu hanyalah milik Yang Maha Mengetahui (Al-‘alim). Sebelum Newton menemukan teori gravitasi bumi, tidak berarti teori itu tidak ada, sebab sesungguhnya gravitasi bumi tidak ada sebelum lahirnya Newton. Gravitasi Bumi ada bersamaan diciptakannya bumi oleh-Nya. Newton hanyalah saksi sejarah yang menemukannya dan bukan menciptakannya. Firman Allah SWT Q.S Al Ahqaf ayat 23:

Artinya:
    “Sesungguhnya pengetahuan (tentang itu) hanya pada sisi Allah…

Ayat diatas menisyartkan bahwa bangunan sains dalam Islam harus tetap bersumber dari Allaw SWT. Dia adalah tujuan dan asal dari segala kenyataan termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Peningkatan ilmu pengetahuan harus berimplikasi pada peningkatan ma’rifat Allah, hukum-hukum-Nya, serta maka sains dalam Islam sarat akan nilai dan bersifat teoritis. Artinya keberadaan ilmu, bukan sekedar untuk ilmu, dimana ilmuwan senatiasa menghambakan diri untuk menemukannya, tanpa mempertimbangkan apakah temuannya itu berimplikasi pada nilai-nilai ilahiyah-ubudiyah atau tidak.

Dengan kata lain upaya Islamisasi ilmu pengetahuan hendaklah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir kontruktif dan positif. Jangan sampai upaya tersebut mengkabiri intelektualitas, dimana pada saat ini umat Islam sedang mengalami stagnasi. Kiranya tentu kita ingat pada pertengahan abad XV dimana Islam menciptakan ilmuwan yang berkualitas. Sehingga pada waktu itu Islam menjadi pusat pengetahuan. Maka tepat kirannya kita perlu “IQRA’” yakni semangat dlam membaca, mengembangkan dan menginterprestasikan ayat-ayat kauniyah dan kauliyah.

Al Qur’an berulangkali memotivasi manusia untuk berpikir, merenung dan mengambil pelajaran dengan mengajukan keseumlah pertanyaan atau perintah:
“Tidakkah kau/mereka menggunakan akal ?” dan juga “Tidaklah kamu memikirkannya ?”. masih banyak ayat yang mendorong manusia untuk berpikir edngan melakukan analogi, mengambil ikhtibar dari berbagai kejadian jagad raya.
Wallahu a’lam bisshab

Refrensi:
    Jurnal Psikologi Islami. Volume I. Yogyakarta. Juli 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar